ENGKONG HAJI JUN, PAHLAWAN KEMANGGISAN

Anda yang tinggal di Kemanggisan dan sekitarnya, seperti Tanjung Duren, Kampus Binus atau Palmerah, barangkali pernah melintasi beberapa jalan yang diberi nama tokoh. MIsalnya, Jl. KH Syahdan (tempat kampus Binus berada), Jl, Haji Harun, Haji Muala, Haji Rausin, atau KH Junaidi. Semua nama itu adalah sosok yang pernah hidup dan masih memiliki hubungan saudara. Ada yang memiliki hubungan anak dan mertua (seperti KH Syahdan dan Haji Harun) atau anak dan orang tua (seperti Haji Muala dan KH Junaidi). Mungkin timbul pertanyaan, apa hebatnya orang-orang itu sehingga masyarakat sekitar menyematkannya menjadi nama jalan? Lazimnya, yang pantas dijadikan nama jalan itu orang yang berjasa atau pahlawan.

Orang-orang yang saya sebutkan di atas memang tidak ikut mendirikan republik ini. Bahkan mereka tidak ikut maju ke medan perang mengusir penjajah. Mereka hanyalah orang kampung di Jakarta ini, yang pekerjaan sehari-harinya hanya mengajar ngaji dan pelajaran agama bagi masyarakat sekitar Kemanggisan seperti KH Junaidi.

KH Junaidi, meninggal di Kemanggisan pada sekitar 1974 dalam usia kurang lebih 85 tahun. Anak-anaknya (yang masih ada sekarang sekitar tujuh orang), biasa memanggil Baba Haji Jun. Oleh cucu-cucunya biasa dipanggil Engkong Haji Jun. Pekerjaan sehari-hari mengajar ngaji. Dia biasa mengajar bukan saja anak-anak di Kemanggisan, tapi hingga Tanjung Duren. Bila ada jadwal mengajar di Tanjung Duren, dia akan berangkat dari rumah sejak pukul 5 sore agar bisa tiba di Tanjung Duren menjelang maghrib. Kala itu kendaraan belum ada. Jadi beliau berjalan kaki dengan jarak kurang lebih lima kilometer.

Luasnya wilayah jelajah Engkong Haji Jun menunjukkan banyaknya murid yang harus dia ajar. Beliau mengajar dari surau ke surau. Dan sudah menjadi kebiasaan warga Betawi, setiap sore anak-anaknya harus belajar mengaji (tradisi yang terus dipertahankan sampai sekarang). Sekolah umum pada masa itu, antara tahun 1930-1940, belum banyak. Kalau pun ada, tak banyak orang tua yang tertarik. Belajar mengaji kepada seorang ustadz tentulah menjadi satu-satunya pilihan.

Anda mungkin ingat salah satu bait lagu dalam film “Si Doel Anak Sekolah” yang dibintangi oleh Rano Karno: Si Doel Anak Betawi asli, kerjaannya sembahyang mengaji. Isi lagu itu memang menggambarkan sebagian tradisi orang Betawi.

Maka tidak mengherankan bila ada orang tua yang rela memberi upah sebidang sawah kepada Engkong Haji Jun, begitu anaknya khatam al-quran. Sebab hal itu sama saja dengan lulus satu jenjang pendidikan. Khatam al-quran adalah kebanggaan. Karena itu meski Haji Jun hanya guru ngaji, tapi dia tidak kekurangan. Tanah dan sawahnya luas. Namun jangan bayangkan sebidang tanah di Kemanggisan dulu, seperti saat ini yang harganya melambung. Kata mertua saya, dulu, harga tanah di Kemanggisana tak ada artinya. Tak ada yang menjual tanah, karena memang tak ada yang sudi membelinya semurah apapun harganya.

Pada masa pendudukan Jepang, terjadi huru-hara yang mirip dengan peristiwa kerusuhan berbau sara pada 1998 yang disebut dengan “gedoran”. Banyak rumah warga keturunan yang dijarah. Engkong Haji Jun melarang seluruh keluarga dan murid-muridnya untuk melakukan penjarahan. Sebab, hal itu sama dengan mencuri yang dilarang agama.

Selain itu, warga keturunan Cina sudah lama menetap di sekitar Palmerah, Tanjung Duren dan Kemanggisan. Hingga detik ini, seingat saya, tak pernah ada konflik yang berarti antara masyarakat Betawi di Kemanggisan dan warga keturunan. Banyak mahasiswa Binus dari keturunan Cina kost di rumah warga Betawi setempat.

Jadi bagi warga Kemanggisan, Palmerah, Tanjung Duren dan sekitarnya waktu itu, barangkali sosok pahlawan yang pantas untuk nama jalan di daerah kami, ya cukuplah seorang guru ngaji yang mengajari arti bertoleransi. Hal yang saat ini justeru sering menjadi ancaman dan persoalan. Sumber: http://umum.kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar

BENS (Betawi Netral Solidaritas)

BENS (Betawi Netral Solidaritas)
Created by ASMAT SHOLEH

Jam Berape Cing?

Tentang Kami

Bens (Betawi Netral Solidaritas) hadir sebagai sebuah organisasi yang berdasarkan ideologi sosial kemasyarakatan mencoba merubah hal tersebut. Dari masyarakat yang berpola hidup konsumtif harus dirubah menjadi masyarakat yang berpola produktif. Dari masyarakat penikmat menjadi masyarakat penggagas dan pencipta. Dari masyarakat pengikut menjadi masyarakat pelopor. Dari masyarakat individual menjadi masyarakat yang saling asah, asih dan asuh dalam budaya gotong royong dan semangat kekeluargaan.

Visi:
Manjadikan masyarakat yang lebih harmonis sebagai mahluk sosial dalam berbudaya, bermasyarakat, bergotong royong dan berkerohanian

Misi:
Menjalankan kehidupan sosial budaya masyarakat yang produktif, penggagas, pencipta, pelopor dan saling asah, asih, asuh dalam berbagai bidang baik dalam kebudayaan, perekonomian dan kerohanian